Hadits
marfu’ ialah: perkataan, perbuatan atau ikrar yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad saw., baik sanad hadits tersebut bersambung-sambung atau terputus, dan
baik yang menyandarkan hadits itu sahabat, maupun lainnya.
Definisi ini
memungkinkan hadits muttashil, mursal, munqathi’, ma’dlal dan mu’allaq menjadi
marfu’. Sedang hadits mauquf dan hadits maqthu’, tak dapat menjadi marfu’ bila
tak ada qarinah yg memarfu’kannya. Dengan demikian, dapat diambil ketetapan,
bahwa tiap-tiap hadits marfu’ tidak selamanya bernilai shahih atau hasan,
tetapi setiap hadits shahih atau hasan tentu marfu’ atau dihukumkan marfu’.
Klasifikasi
Hadits Marfu’
Mengingat
bahwa unsur-unsur hadits itu dapat berupa perkataan, perbuatan maupun ikrar Nabi,
maka apa yang disandarkan kepada Nabi, itu pun dapat diklasifikasikan menjadi:
Marfu-qauly, Marfu’-fi’ly dan Marfu’-taqriry. Dari ketiga macam hadits marfu’
tersebut, ada yang jelas –mudah dikenal- rafa’nya dan ada pula yang tidak jelas
rafa’nya. Yang jelas (sharih) disebut marfu’-haqiqy, dan yang tidak jelas
(ghairu sharih) disebut marfu’ hukmy.
1. Marfu’ Qaul-Haqiqy
Ialah apa yg
disandarkan oleh sahabat kepada Nabi, tentang sabdanya, bukan perbuatannya atau
ikrarnya, yang dikatakan tegas bahwa “Nabi bersabda”. Seperti pemberitaan
sahabat yang menggunakan lafadh qauliyah: Aku telah
mendangar Rasulullah bersabda …
Cara
pemberitaan sahabat yang demikian ini, menunjukkan adanya kepastian dan
sekaligus member keyakinan benar-benar kepada kita, bahwa beliau bersabda. Contoh
hadits marfu’ qauly-haqiqy:
“Dari Ibnu
Umar r.a. bahwa Rasulullah bersabda: shalat jama’ah lebih utama dua puluh tujuh
tingkatan daripada shalat sendirian.” (HR: Bukhari dan Muslim)
2. Marfu’ Qauly-Hukmy
Ialah hadits
marfu’ yang tidak tegas penyandaran sahabat terhadap sabda Nabi, melainkan
dengan perantaraan qarinah yang lain, bahwa apa yang disandarkan sahabat itu
berasal dari sahabat Nabi. Seperti pemberitaan sahabat yang menggunakan
kalimat: “aku
diperintah begini…; aku dicegah begitu…”
Contoh
hadits Marfu’ Qauly Hukmy adalah hadits Anas r.a.:
“Bilal
diperintah menggenapkan adzan dan mengganjilkan iqamat.” (HR Bukhari dan
Muslim)
Perkataan
sahabat Anas r.a. menjelaskan bahwa sahabat Bilal diperintah menggenapkan bacaan-bacaan
adzan dan mengganjilkan bacaan iqamat, dihukum marfu’, dan karenanya hadits
yang demikian itu dapat dibuat hujjah. Sebab pada hakikatya, si pemberi
perintah itu tidak ada lain kecuali Nabi Muhammad saw.
3. Marfu’ Mi’ly-Haqiqy
Ialah
apabila pemberitaan sahabat itu dengan tegas menjelaskan perbuatan Rasulullah
saw. Contohnya:
“Dari
‘Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw. berdoa di waktu shalat, ujarnya: ‘Ya Allah,
aku berlindung kepada-Mu dari dosa dan utang’.”
4. Marfu’ Fi’ly-Hukmy
Ialah
perbuatan sahabat yang dilakukan dihadapan Rasulullah atau dikerjakan di zaman
Rasulullah masih hidup. Kalau perbuatan sahabat itu tidak disertai suatu
penjelasan atau tidak dijumpai sesuatu qarinah yang menunjukkan di zaman
Rasulullah, bukan dihukumkan hadits marfu’, melainkan dihukumkan sebagai hadits
mauquf. Sebab mungkin adanya persangkaan yang kuat, bahwa tindakan sahabat
tersebut di luar pengetahuan Rasulullah saw. Contoh hadits Marfu’ Fi’ly-Hukmy,
seperti:
“Jabir r.a.
berkata: Konon kami makan daging kuda di waktu Rasulullah saw. masih hidup.”
(HR. An-Nasa’iy)
5. Marfu’ Taqriry-Haqiqy
Ialah
tindakan sahabat di hadapan Rasulullah dengan tiada memperoleh reaksi, baik
reaksi itu positif maupun negatif. Contoh: Pengakuan Ibnu Abbas r.a.:
“Kami
bershalat dua raka’at setelah matahari tenggelam. Rasulullah mengetahui
perbuatan kami, namun beliau tidak memerintahkan dan tiidak pula mencegah.”
6. Marfu’ Taqriry-Hukmy
Yaitu
apabila pemberitaan sahabat diikuti dengan kalimat-kalimat Sunnatu Abi Qasim,
sunnatu Nabiyina atau mina’s-sunnati. Contoh, perkataan ’Amru Ibni’l-‘Ash r.a.
kepada Ummu’l Walad:
“Jangan kamu
campur-adukkan pada kami sunnah Nabi kami.” (Abu Dawud)
Pengertian
kata Sunnah Abi Qasim, Sunnah Nabi kami dalam hadits seperti tersebut, tidak
lain bearti Sunnah Nabi Muhammad saw. Akan tetapi kalau yang memberitakan
dengan kalimat mina’s-sunnati dan yang sejenisnya seorang tabi’iy, maka hadits
tersebut bukan hadits marfu’, tetapi disebut dengan hadits-mauquf.
Hadits
yang dianggap marfu’
Selain yang
tersebut di atas, terdapat pula beberapa ketentuan untuk menggolongkan hadits
kepada hadits marfu’.
Apabila
dalam memberitakan itu, diikutkan dengan kata-kata seperti: yarfa’uhu, rafa’ahu, marfu’an, riwayatan,
yarwihi, yanmihi, ya’tsuruhu atau yablughubihi. Contoh hadist al’Araj:
“Dari abu
Hurairoh r.a. yang ia rafa’kan kepada nabi: Manusia itu menjadi pengikut orang
Quraisy” (HR. Bukhari, Muslim)
Tafsir
sahabat yang berhubungan dengan Asbabu’n-Nujul surat al-Baqarah ayat 223:
“Konon orang
Yahudi berkata: barang siapa yang menyetubuhi istrinya dari belakang, lahirlah
anak yang dihasilkannya itu juling.”
Sesuatu yang
bersumber dari sahabat yang bukan semata-mata hasil pendapat dan ijtihad beliau
sendiri. Misalnya:
“Ibnu Umar
dan Ibnu Abbas r.a. sama-sama berbuka puasa dan mengqasar shalat dalam
perjalanan sejauh empat barit (18.000 langkah).” (HR. Bukhari)
Hadits
musnad (muttashil dan marfu’) itu belum tentu shahih atau hasan. Dengan
demikian hadits musnad itu ada juga yang dha’if, bila ada salah satu dari
syarat hadits shahih tidak dipenuhinya.
Misalnya salah seorang rawinya adalah orang fasik atau orang yang tidak
dikenal identitasnya.
Kesimpulannya:
- Setiap hadits
shahih atau hasan, tentu musnad, yakni muttashil dan marfu’
- Hadits
muttashil, belum tentu musnad. Sebab diantara hadits muttashil itu ada yang
tidak marfu’. Dengan demikian hadits muttashil itu belum tentu shahih atau
hasan. Ia akan dihukumi sebagai hadits dha’if, bila tidak marfu’ atau tidak
dianggap marfu’.
- Hadits marfu’
belum tentu musnad. Sebab diantara hadits marfu’ ada yang tidak muttashil.
Padahal yang dikatakan musnad itu harus marfu’ dan muttashil. Dengan demikian
hadits marfu’ itu tidak selalu shahih atau hasan. Ia ada yang dha’if bila tidak
muttashil.
Sumber:
Musthalatul Hadits oleh Drs. Fatchur Rahman